Soundcorners.com, Jakarta – Dalam sebuah resensi menyambut lahirnya debut Mabuk Laut pada 2018 silam,kelakuan The Panturas sebagai bentuk hibrida dari kedigdayaan jemari kidal DickDale, energi satir Timur Tengah Dead Kennedys serta kepolosan indierock Britania, yang berhasil merangkum kenakalan empat pemuda asal Jatinangor,Jawa Barat ini menjadi sebuah unit surfrock dengan karakter revivalis yang cukup langka. Bayangkan adegan seorang bandit pantai di film-film kelas dua yang sedang asyik menggelar pesta usai menuai panen aksi safarinya seharian.
meski albumnya dikerjakan secara terburu bersama segala kekurangannya seperti diakui sendiri oleh mereka. saya tidak kuasa menyimpan firasat baik terhadap prospek cerah The Panturas dimasa depan. Bahwa otentisitas mereka,cepat atau lambat bakal memberikan kejayaan.
Dan akhirnya memang terbukti. Ofisial terbentuk sejak 2015, jelajah karir The Panturas terus meningkat. paska Mabuk Laut seiring intensitas tinggi sederet pertunjukan meriah ‘selancar ombak darat’ diatas kepala manusia yang menyemuti bibir panggung.
Beberapa festival besar pun dilakoni,diantaranya We The Fest ,Synchronize dan Soundrenaline. Kehadiran mereka mampu menjamin suplai adrenalin penuh yang dibutuhkan sebuah konser musik rock.
Diikuti kemudian oleh sejumlah single lepas yang turut mengatrol gemahripah popularitas ThePanturas, dapat ditemukan mengiringi soundtrack film horor Dreadout (Queen of the South), penyemangat kontingen Indonesia di Sea Games 2019 (Gelora,duet dengan grup rock Feast), penghormatan kepada tokoh pahlawan super Gundala (Putra Petir) dan band indie pop legendaris Mocca (You and Me Against The World). Tak dipungkiri nama The Panturas menjulang deras,sebagai salah satu gerombolan rock ngehek yang paling diminati pentas musik nasional.
Melanjutkan riak gembira tersebut, sekaligus ajang pemanasan menuju album penuh kedua yang rencananya terbit pertengahan tahun depan,The Panturas merilis karya terbaru berjudul Balada Semburan Naga. Sebuah nomor kolosal yang kaya akan instrumentasi dari berbagai melodi lintas etnis.
Tidak hanya diwujudkan dalam musik, tapi juga berwujud visual. Seperti pemakaian warna merah (warna yang identik dengan budaya Asia Timur) pada sejumlah kanvas artwork mereka.
Kompartemen musik masih didominasi warna surf (garage rock AGo-Go 60-an) yang, tentusaja, merupakani dentitas orisinal ThePanturas, namun berkembang unik ketika dikawinkan dengan celotehan cablak ala Betawi persis tembang-tembang gambang kromong milik Benyamin Sueb.
Sementara intro lagunya terdengar seperti petikan pembuka sinema kungfu Mandarin.“Kami lebih mengeksplorasi corak suara yang aneh disini. Tidak lagi cuma empat orang yang memainkan gitar,bas dan drum, tapi mulai berani menggunakan instrumen lain seperti kibord, tehyan (biola Betawi) dan synthesizer. Semuanya bisa terlaksana dengan matang berkat produser Lafa Pratomo,”ujar pemain bas Bagus ‘Gogon’ Patria.
Keputusan bekerja dengan produser diambil demi memaksimalkan eksplorasi yang ideal. Sesuatu yang tidak terlintas sewaktu merekam MabukLaut. Keinginan keempat personel The Panturas dapat terakomodasi dengan baik kali ini, keseimbangan aransemen musikal, eksperimen maupun kesempurnaan tata suara tersaji melalui kecerdikan Lafa Pratomo dalam membaca potensi yang dimiliki. Alhasil single Balada Semburan Naga pun keseluruhan album kedua mereka kelak sukses membayar lunas keterbatasan teknis yang terjadi pada album sebelumnya.
Lalu datang Adipati, vokalis eksentrik dari komplotan hardcore punk The Kuda. Ia diplot sebagai penyanyi tamu yang memerankan sosok ayah galak dari seorang gadis yang hendak diajak berkencan oleh pemuda seni manurakan bernama Topan dilagu Balada Semburan Naga.
Liriknya di seloroh sahut-sahutan, bercerita tentang konflik klasik perbedaan kelas yang dituturkan melalui analogi tokoh fiksi Tionghoa macam Pak Wijaya dan Tan Peng Liang (dicomot dari novel CaBauKan karya Remy Sylado).
Balada Semburan Naga sesungguhnya adalah imajinasi pop cemerlang. Sebuah kisah pilu yang dialirkan secara jenaka binjahil. Musiknya dipenuhi estetika orientalis Asia,sengaja dimaksudkan untuk menyalurkan minat dan sapara khalayak bergairah muda.
“Konsep album kedua nanti ibarat berada didalam sebuah kapal yang berisi banyak orang dari berbagai macam budaya. Ada Cina, Jepang, Arab, Eropa, Amerika dengan segala cerita dan permasalahan yang dimiliki. Kami merangkul mereka lalu coba menafsirkannya kedalam bentuk musik yang beragam. Fusion dari surf rock, garage, rockabilly, Arabian, waltz sampai irama Melayu,” jelas penggebuk drum Surya Fikri Asshidiq.
No comments so far.
Be first to leave comment below.